Waktu itu sudah menunjuk pukul 11.00 siang. Matahari sudah hampir tepat di atas kepala. Kami menggeber kendaraan menyusuri jalanan desa, mengikuti seorang kerabat kami yang di depan, sebagai penunjuk jalan.
Sepanjang jalan, sejauh mata memandang hanya tampak persawahan dan kebun-kebun di kiri kanan. Meskipun panas terik tapi udara terasa cukup sejuk. Aroma tanaman padi dan pepohonan begitu harum menusuk hidung. Jauh di depan
Tugu yang kusangka patung
Sebenarnya di jalan masuk desa tadi ada sebuah bangunan rumah kuno, yang tampaknya difungsikan sebagai rumah ‘selepan’. Karena banyak sekali onggokan ‘dami’ (batang2 padi) di pelataran depannya. Bentuk joglonya cukup unik dan di depannya ada gerbang tembok tinggi yang pada masing-masing pilarnya ada patung anjing. Sepertinya dimaksud sebagai penjaga, sebagaimana patung Joko Dolok yang membawa pentungan gada. Menyesal sekali aku tidak mengambil gambarnya,
Slurbe Kichot
Kami istirahat sebentar di rumah seorang kerabat, disana kami disuguhi hidangan special. Dengan hanya diguyur air panas, digarami, ditaburi merica, lalu diberi sentuhan daun seledri. Siap sudah. Kami satu per satu menyeruput makhluk2 itu. Slurrrrppp!!!...dikunyah perlahan-lahan. Lalu ditelan. Kadang2 masih terasa sesuatu yang bergerak naik ke tenggorokan. Nah disinilah keasyikannya ….menikmati menu spesial ini. Slurbe Kichot.
(Hoeeeeekkk!!!!! Ah bukan!!...kami tidak senista itu. Bekicot2 itu hanyalah dikumpulkan anak2, mungkin untuk mainan. Lalu iseng2 aku jepret. Aku belum gila makan bekicot hidup…apalagi menyruputnya. Hiiii….)Slytherin
Setelah cukup istirahat, kami melanjutkan kembali perjalanan. Kali ini ditempuh dengan berjalan kaki. Sebuah jalan tanah berkerikil, di kiri kanan adalah pohon-pohon asoka yang tinggi menjulang.
Di ujung jalan berlumpur tadi sampailah kami ke sebuah perkampungan kecil.Aroma ular sudah mulai tampak. Di pinggir2 jalan banyak ditemui bekas sisik-sisik ular. Tidak hanya itu, tampak di pelataran rumah penduduk terlihat sebentuk lonjoran-lonjoran.
Ternyata itu adalah slongsong kulit ular yang ‘disunduki’, kemudian dijemur di bawah terik matahari supaya kering. Pemandangan itu kami temui di depan rumah beberapa orang warga. Perhatikan yang ini.
Ini adalah ular-ular yang dijemur, setelah dipanggang selama 2 hari di dalam sebuah ‘oven’. Lihat prosesnya di bawah ini.
Setelah melalui beberapa proses sampai menjadi seperti obat nyamuk, maka jadilah ‘rempeyek’ itu.
Bagaimana ibu-ibu? Barangkali berminat untuk camilan, teman minum kopi, sambil nge-net wah asyik sekali tuh.
Uji Nyali
Kami di sana tidak hanya liat2 saja. Kami juga dipersilahkan untuk 'bercengkrama' dengan para ular itu. Jangankan hanya pegang atau mengelus2, kalo mau mandi ular sekalipun juga boleh. Berbagai jenis ular itu dikenalkan satu per satu, disuruh megang sepuas2nya, trus diganti lagi ular yang lain. Ada ular Jati, pelangi, cincin, cobra dll.
Ini adalah Mas Muji, beliau termasuk salah seorang pemburu dan pawang ular. Beliau sedang memberikan kursus singkat cara 'uleng-ulengan' dengan ular.Ular dalam karung, sepertinya ini yang berjenis Cobra yang cukup ganas itu. Tidak hanya itu saja, disini juga menyediakan kulit2 ular dan aneka binatang2 melata yang sudah dikeringkan.
Jika ibu-ibu berminat kadal, tokek dkk itu bisa dijadikan bros atau susuk gelungan ibu2. Pas sekali untuk dikenakan pada acara2 semacam undangan atau arisan. Pasti dijamin lebih berwibawa dibanding Mak Lampir.
(brb....critanya masih ngalor-ngidul ya....nanti diperbaiki lagi... :D)