Embun
Sunday, 23 November 2008
Suara adzan pagi telah mengakhiri impian malam
Kesejukan pagi dan hawa dingin yang masih menusuk hingga kulit
Sebagaian orang enggan bangun dari pembaringan
Embun pagi menetes di jendela..dan kabutpun menutupi pengelihatan..
Itulah yang tersisa dari derasnya hujan malam tadi...
Butiranya terlihat jelas di pucuk-pucuk rumput ilalang...
Beningnya memantulkan gambaran indah tentang kesegaran alam.
Embun melukiskan potret kehidupan..
Mengalir lembut dan menyegarkan jiwa yang lelah
Kini tlah kau basahi dan sirami tanah kehidupan ini...
Rumput-rumput hijau menghampar bagai permadani,
Pohon-pohon besar mulai menampakan diri
Setelah lenyap ditelan kegelapan malam.
Aku tidak ingat kapan terakhir bermain embun...
Dan aku selalu berharap embun akan tetap muncul esok hari.
Yang memberikan kesegaran hati...membasuh jiwa,
Embun muncul tetes demi tetes,
Namun kadang tetesan-tetesan tersebut saling bersatu
Bergandengan membentuk butiran yg lebih…
Embun yang tumbuh seiring dengan gairah sang malam
Walaupun setetes itu sangat berarti bagiku...
Mungkinkah embun itu berbekas di hati seperti senyummu
Senyum keilhlasan dan takkan pernah hilang
Namun di ufuk timur mentari mulai menampakan diri...
Yang kan menyapu beningnya embun dan senyummu pagi ini..
Kesejukan pagi dan hawa dingin yang masih menusuk hingga kulit
Sebagaian orang enggan bangun dari pembaringan
Embun pagi menetes di jendela..dan kabutpun menutupi pengelihatan..
Itulah yang tersisa dari derasnya hujan malam tadi...
Butiranya terlihat jelas di pucuk-pucuk rumput ilalang...
Beningnya memantulkan gambaran indah tentang kesegaran alam.
Embun melukiskan potret kehidupan..
Mengalir lembut dan menyegarkan jiwa yang lelah
Kini tlah kau basahi dan sirami tanah kehidupan ini...
Rumput-rumput hijau menghampar bagai permadani,
Pohon-pohon besar mulai menampakan diri
Setelah lenyap ditelan kegelapan malam.
Aku tidak ingat kapan terakhir bermain embun...
Dan aku selalu berharap embun akan tetap muncul esok hari.
Yang memberikan kesegaran hati...membasuh jiwa,
Embun muncul tetes demi tetes,
Namun kadang tetesan-tetesan tersebut saling bersatu
Bergandengan membentuk butiran yg lebih…
Embun yang tumbuh seiring dengan gairah sang malam
Walaupun setetes itu sangat berarti bagiku...
Mungkinkah embun itu berbekas di hati seperti senyummu
Senyum keilhlasan dan takkan pernah hilang
Namun di ufuk timur mentari mulai menampakan diri...
Yang kan menyapu beningnya embun dan senyummu pagi ini..
posted by Tyas
*
4 Comments:
At 23 November, 2008 20:01 , Anonymous said...
andai akulah penikmat embun itu.. ahh...betapa sejuknya jiwa ini.
At 23 November, 2008 20:27 , Anonymous said...
aku gak bisa berkata apa2, jiwamu telah memikat embun untuk tetap bersemayam dgn kesegarannya..
tetaplah bersama indahnya embun yang pasrah terserap indahnya sinar matahari...
miz u... tyas!!
At 23 November, 2008 23:28 , Vina Revi said...
Ga, saya asli Semarang, loh.
Bulan Juni lalu, saya sempet pulang ke Indo, tapi nggak mampir ke Semarang. Jadi terpaksa Papa Mama saya yang kudu ke Bandung. :))
At 23 November, 2008 23:29 , Vina Revi said...
btw, tentang The Kriwel, hehe ... like mother like daughter, ya? Hidup Kriwel!
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home