My beloved Mbah Nem
Monday, 20 October 2008

“Lha mbok bathango kae…aku yo njaluk ambung yo le…..”

Dua puluh tahun silam.
Kulihat kau berjalan perlahan, menerabas tetanaman ladang. Seperti biasa tongkat penuntun kau genggam erat di tangan kananmu. Seolah bagaikan indra penglihat bagimu. Sementara tangan kiri senantiasa terjulur ke muka. Layaknya bemper yang melindungi tubuhmu dari benturan-benturan. Senyum selalu terkembang menghiasi wajah keriputmu.

Kini, dua puluh tahun kemudian.
Engkau masih sama seperti dulu. Takdir memilihmu lahir dalam keadaan buta.
Di otakku yang kerdil ini aku berpikir, tentu tak sedetikpun pernah kau tatap indahnya cahaya mentari pagi. Tak pernah sedetikpun kau nikmati indahnya bintang gemintang, berhias sinar rembulan.

Tahukah kau betapa daun-daun menghijau segar dengan embun di pagi hari. Atau bulir-bulir padi menguning di hamparan sawah. Atau gunung yang berdiri kokoh dinaungi awan yang putih bersih berarak, di kejauhan sana.
Bahkan seperti apa wajahmu sendiri, tentu tak pernah terbesit dalam benakmu.

Namun, tak pernah kulihat duka di wajahmu. Ataukah engkau mempunyai duniamu sendiri? Dunia yang disediakan oleh Sang Maha Adil, yang boleh jadi lebih indah dari dunia kami. Yang kau nikmati dalam mimpi-mimpimu. Dalam tidurmu. Sehingga senyum puas selalu menghiasi bibirmu.

Di setiap kedatangan kami, kau percepat langkahmu menyongsong kami. Tongkatmu bergerak dengan kacau kian kemari. Acap kali bebatuan runcing membentur kaki lemahmu, menggores kulitmu. Darah yang mengucur, tak pernah kau rasai. Semata-mata ingin mendengar suara kami, memeluk dan mencium kami.

“Iki yo le…ora sepiro lek ku nglumpukke...dinggo jajan yo ngger…”

Serupiah demi serupiah kau kumpulkan dalam setahun, dari hasil penjualan dedaunan yang kau petik, atau dari hasil ranting-ranting kayu bakar yang kau kumpulkan, atau dari hasil panen yang tercecer. Lalu kau jejalkan ke saku-saku kami. Semua kau lakukan demi kami, cucumu. Demi betapa cinta dan sayangnya kau kepada kami. Dan hanya berharap pengakuan, bahwa engkau adalah juga eyang kami.

Kami tercekat, memandang sehelai lima ribuan atau sepuluh ribuan itu. Inikah yang kau kumpulkan selama setahun?. Subhanallah. Betapa istiqomahnya dirimu. Uang ini teramat mulia, dibandingkan kecongkakan kami selama ini.
Betapa hinanya kami yang melewatkan masa setahun tidak mengunjungimu. Betapa hinanya kami bayanganmu tak pernah terlintas dalam ingatan kami.

Eyangku tercinta….di usiamu yang semakin senja ini, aku hanya dapat mendoakan, agar kita semua senantiasa mendapat rahmat Ilahi. Dan kebahagiaan hakiki dapat kita raih bersama. Insya Allah.
posted by Nuga @ 10/20/2008 08:27:00 pm

3 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home

 
My Photo
Name:
Location: Semarang, Jawa Tengah, Indonesia

I'm just an ordinary person

Previous Posts
Silahkan Di ISI



  • Status : NuGa
    Visit the Site
    My Link Banner



    eXTReMe Tracker



    Youahie