Hawa panas, hati sejuk
Siang itu teramat teriknya. Matahari seakan-akan membakar sepanjang jalanan beraspal ini. Bolongnya lapisan ozon di atas sana, membuat panas luar biasa rasanya di badan. Kadang justru terasa menggigil seperti demam karena amat panas. Meskipun pengendara motor sudah berjaket dan asesories lengkap, tapi tetap tembus, seperti diopen dalam microwave.
Tiba-tiba di depan sana. “Diiiinnnn......diiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnnnnnnnnnn…” suara klakson panjang melengking. Disambung lagi mobil di belakangnya. “Teeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet……tet…teeeeeeeeeeeeeeeeeeetttttttttttttt” panjang tak kalah geramnya. Di baris ketiga tak ketinggalan…”Diiin….din…diiiinnnn….”, “Diiin…dinn…diiinn…, diiiiiiiiinnn…..” membunyikan klakson mobilnya sesuka hatinya.
Bunyi-bunyian itu tak henti-hentinya, hingga memekakkan telinga. Suaranya berasal dari tiga buah mobil mewah edisi mutakhir. Mereka terhenti karena terjebak macet, dan rupanya ada sesuatu yang membuat macet di depan sana. Sesekali orang di dalamnya melongok-longok mengumpat-umpat mengomel.
Ternyata di depan ada tukang becak yang overload kelebihan beban. Setelah dimuati beberapa zak semen, dan material-material lainnya. Beberapa lonjor besi beton cor bertengger memanjang di atas becaknya. Tak terbayangkan betapa beratnya. Lagi pula di titik itu jalan sedikit menanjak.
Bapak tukang becak tampak kepayahan mendorong becaknya yang sarat beban. Tak ada seorang pun tergerak untuk sudi menolongnya. Hati manusia sudah pada tuli tampaknya. Pak becak itu sudah berusia lanjut tapi tubuhnya masih tegap berotot ulet. Kulitnya legam, menandakan secara historis dia sering bergelut dengan panas matahari dalam mencari nafkah.
Didorongnya becak itu sekuat tenaganya. Sepertinya sudah berkilometer dia mengayuh, dan di tanjakan ini adalah sisa-sisa tenanganya. Mukanya menunduk ke bawah agar tidak silau terpampang matahari. Sambil mengerahkan tenaganya menatap aspal di bawahnya yang seperti menggembur kepanasan. Sandal jepitnya seolah meleleh pula lengket dengan aspal.
“Diiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnnn….teeeeeett…dooott..dott…..tiiiiiiiinnn” segala tetet towet klakson ditekan semakin kencang dan marah.
“Ya Allah….ya Allah….” gumam pak becak.
“Demi Tuhan!...ini sangat berat!”
Sambil mendorong, fikirannya berkecamuk.
“oh ..tidakkah kalian tahu..ini sungguh berat, otot-otot tubuhku serasa hendak putus, mohonlah bersabar sedikit”
“tolong sabarlah sedikit”
Pak becak tak mungkin menepikan becaknya karena trotoar sangat tinggi, jika nekat bisa-bisa muatannya tumpah bercerai-berai. Sementara kendaraan dari arah berlawanan tak henti-hentinya berlalu lalang.
“Doooeeeeeeeeeettttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttt…doeeeeeeeeeeeeeetttt” makhluk-makhluk bermobil bertambah murka.
“Ya Tuhan….kalian manusia atau bukan!, oh…” dalam benaknya Pak Becak berkata-kata.
“Ada apa dengan kalian ini, tidak taukah rasanya melakukan ini. Tidakkah di dalam mobil begitu dingin dan sejuk. Berjam-jam didalamnya pun kalian bisa pulas. Keburu apa kalian? Hendak kemana? Apakah kalian ingin segera mencebur ke neraka?”
Suara klakson makin menggila bersahut-sahutan.
“Oh…mohon bersabarlah..berat sekali ini…Oh Tuhanku”
“Andai boleh bertukar sebentar saja, kalian coba dorong benda ini, dan jika kalian mengeluh melakukan ini.…akan kucambuk kalian dengan besi cor keras ini. Agar kalian mengerti.” batinnya geregetan.
Fikiran Pak Becak kesana kemari. Napasnya seakan hampir putus.
Setelah ada celah di sisi kanan, mobil-mobil itu menyalip dengan brutalnya.
“Oooo…Dasar Budheeeg!!!!!” seseorang mengumpatinya. Beberapa lainnya merengut dan memelototkan matanya sambil menggeber-geber gas mobilnya. Seolah-olah Pak Becak adalah pendosa yang amat berat.
Pak Becak terhenyak, dia hendak marah, tapi ditahan perasaannya. Lalu menunduk lagi tetap terus mendorong bebannya. Tak terasa air matanya menetes.
“Tidak tahukah kalian..demi 15ribu rupiah aku melakukan ini, dan demi menafkahi keluargaku”.
“Tuhan menghendaki aku seperti ini, dan menghendaki kalian demikian. Sungguh enak sekali kalian, tidak bersusah payah setiap hari. Tapi kenapa kesejukan di dalam sana, sepertinya membuat otak kalian mendidih”
“Rupanya kalian manusia tapi berotak anjing, yang kerjanya hanya menyalak”
“Tidak adakah sedikitpun rasa sabar, dan bersyukur”
“Andai kalian adalah anak-anakku, pasti sudah kutampar mulut kalian yang tak mengerti sopan santun. Kupukul kepala kalian yang dungu dengan bambu.””Supaya kalian mengerti, bahwa pukulanku adalah jauh lebih baik. Ketimbang kalian disiksa oleh Sang Pemberi Balasan”.
“Tubuhku boleh sangat lelah dan panas, tapi hati dan pikiranku amatlah sejuk”
“Oh Tuhan Terima kasih ….atas semua ini”
Tiba-tiba di depan sana. “Diiiinnnn......diiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnnnnnnnnnn…” suara klakson panjang melengking. Disambung lagi mobil di belakangnya. “Teeeeeeeeeeeeeeeeeeeeet……tet…teeeeeeeeeeeeeeeeeeetttttttttttttt” panjang tak kalah geramnya. Di baris ketiga tak ketinggalan…”Diiin….din…diiiinnnn….”, “Diiin…dinn…diiinn…, diiiiiiiiinnn…..” membunyikan klakson mobilnya sesuka hatinya.
Bunyi-bunyian itu tak henti-hentinya, hingga memekakkan telinga. Suaranya berasal dari tiga buah mobil mewah edisi mutakhir. Mereka terhenti karena terjebak macet, dan rupanya ada sesuatu yang membuat macet di depan sana. Sesekali orang di dalamnya melongok-longok mengumpat-umpat mengomel.
Ternyata di depan ada tukang becak yang overload kelebihan beban. Setelah dimuati beberapa zak semen, dan material-material lainnya. Beberapa lonjor besi beton cor bertengger memanjang di atas becaknya. Tak terbayangkan betapa beratnya. Lagi pula di titik itu jalan sedikit menanjak.
Bapak tukang becak tampak kepayahan mendorong becaknya yang sarat beban. Tak ada seorang pun tergerak untuk sudi menolongnya. Hati manusia sudah pada tuli tampaknya. Pak becak itu sudah berusia lanjut tapi tubuhnya masih tegap berotot ulet. Kulitnya legam, menandakan secara historis dia sering bergelut dengan panas matahari dalam mencari nafkah.
Didorongnya becak itu sekuat tenaganya. Sepertinya sudah berkilometer dia mengayuh, dan di tanjakan ini adalah sisa-sisa tenanganya. Mukanya menunduk ke bawah agar tidak silau terpampang matahari. Sambil mengerahkan tenaganya menatap aspal di bawahnya yang seperti menggembur kepanasan. Sandal jepitnya seolah meleleh pula lengket dengan aspal.
“Diiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnnn….teeeeeett…dooott..dott…..tiiiiiiiinnn” segala tetet towet klakson ditekan semakin kencang dan marah.
“Ya Allah….ya Allah….” gumam pak becak.
“Demi Tuhan!...ini sangat berat!”
Sambil mendorong, fikirannya berkecamuk.
“oh ..tidakkah kalian tahu..ini sungguh berat, otot-otot tubuhku serasa hendak putus, mohonlah bersabar sedikit”
“tolong sabarlah sedikit”
Pak becak tak mungkin menepikan becaknya karena trotoar sangat tinggi, jika nekat bisa-bisa muatannya tumpah bercerai-berai. Sementara kendaraan dari arah berlawanan tak henti-hentinya berlalu lalang.
“Doooeeeeeeeeeettttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttttt…doeeeeeeeeeeeeeetttt” makhluk-makhluk bermobil bertambah murka.
“Ya Tuhan….kalian manusia atau bukan!, oh…” dalam benaknya Pak Becak berkata-kata.
“Ada apa dengan kalian ini, tidak taukah rasanya melakukan ini. Tidakkah di dalam mobil begitu dingin dan sejuk. Berjam-jam didalamnya pun kalian bisa pulas. Keburu apa kalian? Hendak kemana? Apakah kalian ingin segera mencebur ke neraka?”
Suara klakson makin menggila bersahut-sahutan.
“Oh…mohon bersabarlah..berat sekali ini…Oh Tuhanku”
“Andai boleh bertukar sebentar saja, kalian coba dorong benda ini, dan jika kalian mengeluh melakukan ini.…akan kucambuk kalian dengan besi cor keras ini. Agar kalian mengerti.” batinnya geregetan.
Fikiran Pak Becak kesana kemari. Napasnya seakan hampir putus.
Setelah ada celah di sisi kanan, mobil-mobil itu menyalip dengan brutalnya.
“Oooo…Dasar Budheeeg!!!!!” seseorang mengumpatinya. Beberapa lainnya merengut dan memelototkan matanya sambil menggeber-geber gas mobilnya. Seolah-olah Pak Becak adalah pendosa yang amat berat.
Pak Becak terhenyak, dia hendak marah, tapi ditahan perasaannya. Lalu menunduk lagi tetap terus mendorong bebannya. Tak terasa air matanya menetes.
“Tidak tahukah kalian..demi 15ribu rupiah aku melakukan ini, dan demi menafkahi keluargaku”.
“Tuhan menghendaki aku seperti ini, dan menghendaki kalian demikian. Sungguh enak sekali kalian, tidak bersusah payah setiap hari. Tapi kenapa kesejukan di dalam sana, sepertinya membuat otak kalian mendidih”
“Rupanya kalian manusia tapi berotak anjing, yang kerjanya hanya menyalak”
“Tidak adakah sedikitpun rasa sabar, dan bersyukur”
“Andai kalian adalah anak-anakku, pasti sudah kutampar mulut kalian yang tak mengerti sopan santun. Kupukul kepala kalian yang dungu dengan bambu.””Supaya kalian mengerti, bahwa pukulanku adalah jauh lebih baik. Ketimbang kalian disiksa oleh Sang Pemberi Balasan”.
“Tubuhku boleh sangat lelah dan panas, tapi hati dan pikiranku amatlah sejuk”
“Oh Tuhan Terima kasih ….atas semua ini”